Pesantenanpati.com – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerangkan dampak di sektor tambang atas melemahnya rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Pasalnya, kondisi tersebut bisa membuat biaya operasional pertambangan meroket lantaran kebutuhan peralatan dan bahan baku diimpor.
“Kalau masalah dolar, tentu pengeluaran akan bertambah untuk pembelian-pembelian yang dari luar (negeri). Semua pembelian yang harus dibayar pakai dolar, itu biaya bertambah tentunya,” kata Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batu bara, Irwandy Arif, dilansir dari Tirto, Jumat (21/6/2024).
Dampak buruk lainnya bagi pengusaha tambang adalah sebagian produknya digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik, akibatnya harga tambang turun karena lemahnya rupiah.
Namun, bagi Perusahaan tambang yang orientasinya ekspor akan mendapatkan keuntungan yang besar dari melemahnya rupiah. Keuntungan tersebut didapatkan dari posisi dolar yang semakin kuat.
“Bagi mereka yang menjual (barang) ekspor dalam dolar Amerika Serikat, mereka dapat keuntungan dalam rupiah,” ujar Irwandy.
Lebih lanjut, salah satu perusahaan yang terdampak atas melemahnya rupiah adalah PT Bukit Asam Tbk yang orientasi penjualan batu bara lebih tinggi di dalam negeri daripada produsen lain. Sebanyak 9,7 ton penjualan batu bara dari PTBA, 5,9 jutanya wajib memenuhi pasar domestik (domestic market obligation/ DMO).
Kendati demikian, Irwandy menyebutkan lemahnya rupiah merupakan hal biasa yang kerap terjadi. Terlebih, suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat The Federal Reserve (The Fed) tak turun.
Sehingga, dia mengimbau pengusaha tambang agar tidak khawatir terhadap posisi rupiah yang lemah saat ini.
“Kalau suku bunganya tinggi, mereka (investor) pasti menanam uangnya ke sana kan. Tapi begitu turun lagi, mengalir lagi. Nah itu bisa menguatkan rupiah kembali,” sebutnya. (*)
