Pesantenanpati.com – Media sosial sudah menjadi bagian dari hidup remaja sehari-hari. Dari bangun tidur sampai mau tidur lagi, tangan rasanya tidak akan bisa lepas dari Hp.
Namun, ada bahaya yang sering tidak kita disadari dari kegiatan tersebut: tekanan mental yang perlahan bisa merusak kesehatan jiwa remaja.
Menurut data dari United Nations International Children’s Emergency Fund (UNICEF) Indonesia (2022), lebih dari 50% remaja di perkotaan menghabiskan lebih dari tiga jam sehari untuk bermain media sosial.
Angka ini cukup mengkhawatirkan karena waktu yang lama di depan layar, terutama untuk aktivitas pasif seperti hanya menonton konten orang lain, bisa meningkatkan risiko stres, kecemasan, bahkan depresi.
Tekanan muncul karena media sosial kerap jadi tempat membandingkan diri dengan orang lain. Melihat teman yang liburan terus, banyak followers, atau tampil glowing setiap saat bisa membuat remaja merasa hidupnya kurang menarik.
Dari sini timbul perasaan rendah diri dan takut ketinggalan, fenomena yang dikenal dengan Fear of Missing Out (FOMO). Kalau dibiarkan, rasa ini bisa menurunkan kepercayaan diri dan membuat remaja menarik diri dari lingkungan sosial nyata.
Masalah lain yang tak kalah serius adalah cyberbullying. Komentar jahat, sindiran, atau ejekan online bisa melukai mental lebih dalam dari yang kita kira.
Remaja yang jadi korban perundungan di media sosial berisiko lebih besar mengalami gangguan tidur, malas belajar, bahkan keinginan menyakiti diri sendiri.
Sayangnya, banyak orang tua yang masih menganggap komentar di media sosial hanyalah candaan, padahal dampaknya bisa bertahan lama di benak remaja.
Namun bukan berarti media sosial selalu buruk. Jika digunakan secara bijak, platform ini justru bisa menjadi ruang untuk berekspresi, menemukan komunitas positif dan belajar hal-hal baru. Kuncinya terletak pada kesadaran dan pendampingan.
Peran keluarga sangat penting dalam mendampingi anak mengelola media sosial. Bukan hanya membatasi waktu layar, tapi juga mengajak mereka berdiskusi tentang apa yang dilihat, apa yang dirasakan dan bagaimana menyikapinya.
Literasi digital juga perlu ditanamkan sejak dini agar remaja paham jika apa yang muncul di feed sering kali hanya sebagian kecil dari kenyataan hidup seseorang. Remaja harus tahu bahwa tak perlu selalu membandingkan diri dengan standar yang tak realistis. (*)