Stigma Kesehatan Mental di Indonesia: Mengapa Masih Kuat?

Pesantenanpati.com – Di tengah kemajuan zaman dan akses informasi yang semakin luas, stigma terhadap isu kesehatan mental di Indonesia masih menjadi tantangan besar.

Bagi sebagian masyarakat, berbicara tentang depresi, kecemasan, atau gangguan mental lainnya dianggap tabu. Bahkan, masih banyak yang mengaitkan masalah mental dengan hal-hal mistis atau kelemahan spiritual.

Lantas, mengapa stigma ini masih kuat melekat?

Salah satu penyebab utamanya adalah kurangnya literasi kesehatan mental. Banyak orang belum memahami bahwa gangguan mental merupakan kondisi medis yang bisa dijelaskan secara ilmiah, sama halnya dengan penyakit fisik seperti diabetes atau hipertensi.

Menurut riset Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, hanya 7 dari 10 orang Indonesia yang memahami bahwa depresi adalah penyakit yang bisa diobati.

Budaya ketimuran yang kental juga turut membentuk persepsi terhadap kesehatan mental. Di banyak keluarga, menunjukkan emosi dianggap sebagai bentuk kelemahan yang membuat banyak orang memilih untuk diam dan menyimpan rasa sakit sendiri daripada mencari bantuan profesional.

Tak hanya itu, media juga berperan dalam membentuk narasi seputar kesehatan mental. Penggambaran orang dengan gangguan jiwa yang seringkali ekstrem atau sensasional di sinetron dan berita memperkuat stereotip negatif.

BACA JUGA :   9 Cara Menjaga Email Gigi dari Kerusakan

Hal ini menciptakan jarak antara masyarakat umum dengan realita kehidupan orang-orang yang mengalami gangguan mental, seolah mereka adalah ancaman atau makhluk yang berbeda.

Stigma ini tidak hanya berdampak pada kehidupan sosial seseorang, tetapi juga menghambat akses mereka terhadap layanan kesehatan mental. Banyak yang takut dianggap gila jika pergi ke psikolog atau psikiater.

Padahal, data dari riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan bahwa prevalensi gangguan mental emosional di Indonesia mencapai 6,1% dari populasi dewasa, namun hanya sebagian kecil yang mendapatkan penanganan medis.

Meski begitu, beberapa tahun terakhir banyak komunitas, influencer dan tokoh publik yang mulai terbuka membicarakan perjuangan mereka dengan kesehatan mental.

Kampanye seperti #MentalHealthAwareness atau #BeraniBicara turut membantu membuka ruang diskusi yang lebih inklusif dan empatik. Layanan konseling daring juga mulai tumbuh, membuat akses terhadap bantuan profesional semakin mudah dan aman secara privasi.

Mengubah stigma memang tidak bisa terjadi dalam semalam. Tapi perubahan bisa dimulai dari hal kecil—dari mendengarkan tanpa menghakimi, menghindari istilah yang merendahkan, hingga mendukung teman atau keluarga yang butuh bantuan. Kita semua punya peran dalam menciptakan lingkungan yang lebih sehat secara mental. (*)

BACA JUGA :   Musim Pancaroba Rawan Penyakit, Baca Doa Ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *