Pesantenanpati.com – Ketika berpuasa, maka kita dilarang makan dan minum. Namun bagaimana jika kita dalam posisi memasak dan harus mencicipi makanan? Apakah membatalkan puasa?
Mencicipi rasa makanan saat puasa pada dasarnya tidak termasuk bagian dari sesuatu yang membatalkan puasa. Karena mencicipi tidak sama dengan menelan makanan.
Para ulama menilai tidak membatalkan puasa dan hukumnya pun juga diperbolehkan jika memang diperlukan.
Hal itu sesuai dengan pendapat Imam Ibnu Abbas ra, sebagaimana dikutip oleh Syekh Badruddin al-‘Aini dalam salah satu karyanya, ia mengatakan:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: لاَ بَأْسَ أَنْ يَذُوقَ الْخَلَّ، أَوِ الشَّيْءَ مَا لَمْ يَدْخُلْ حَلْقَهُ وَهُوَ صَائِمٌ
Artinya, “Dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Tidak masalah apabila seseorang mencicipi cuka atau sesuatu, selama tidak masuk pada kerongkongan, dan ia dalam keadaan berpuasa.” (Al-Aini, Umdatul Qari Syarhu Shahihil Bukhari, [Beirut, Darul Ihya At-Turats], juz XVI, halaman 379).
Sedangkan Syekh Sulaiman As-Syafi’i Al-Makki menilai hal itu adalah makruh jika memang tidak ada kebutuhan (hajat) untuk mencicipinya.
Sebab, mencicipi makanan bisa berpotensi membatalkan puasa. Namun jika ada kebutuhan, seperti juru masak, maka diperbolehkan.
Syekh Sulaiman berkata:
وَيُكْرَهُ ذَوْقُ الطَّعَامِ أَوْ غَيْرِهِ لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْرِيْضِ الصَّوْمِ لِلْفَسَادِ، وَهَذا اِذَا لَمْ تَكُن حَاجَة. أَمَّا الطَّبَّاخُ رَجُلًا كَانَ أَوْ اِمْرَأَةً فَلاَ يُكْرَهُ لَهُ ذَلِكَ كَمَا لَايُكْرَهُ المَضْغُ لِطِفْلٍ
Artinya, “Dimakruhkan (bagi orang berpuasa) mencicipi makanan atau selainnya, karena hal tersebut bisa berpotensi membatalkan puasa. Dan (hukum makruh) ini apabila tidak ada kebutuhan (hajat). Sedangkan juru masak, baik laki-laki maupun perempuan, maka tidak makruh baginya untuk mencicipi makanan, sebagaimana tidak dimakruhkan mengunyah (makanan) untuk anak kecil.” (Sulaiman Al-Makki, At-Tsimarul Yani’ah fir Riyadhil Badi’ah, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah], halaman 157).
Golongan ulama Kufah (Kufiyun) juga menilai jika hukum mencicipi makanan tidak membatalkan puasa. Selama rasa makanan yang ia cicipi tidak tertelan, sebagaimana dikutip oleh Syekh Abul Hasan Al-Bakri Al-Qurthubi:
وَأَمَّا ذَوْقُ الطَّعَامِ لِلصَّائِمِ، فَقَالَ الْكُوْفِيُوْنَ: إِذَا لَمْ يَدْخُلْ حَلْقَهُ لَا يُفْطِرُهُ، وَصَوْمُهُ تَامٌ
Artinya, “Adapun mencicipi makanan bagi orang yang puasa, maka ulama Kufah mengatakan: jika (rasa makanan tersebut) tidak sampai masuk tenggorokan (tertelan), maka tidak membatalkan, dan puasanya sempurna (tidak makruh).” (Syekh Abul Hasan, Syarh Shahihil Bukhari, [Riyadh, Maktabah Ar-Rusyd: 2003], juz IV, halaman 58). (*)